Rabu, 13 Januari 2016

Pendidikan Kita Mahal dan Gagal





  Indonesia telah merdeka lebih dari 66 tahun. Bukan waktu yang pendek bagi sebuah bangsa untuk mempersiapkan diri menjadi bangsa yang prestatif. Ironisnya Indonesia terpuruk hampir di seluruh bidang, termasuk pendidikan. Di bidang pendidikan rendahnya kualitas hampir merata dari seluruh aspek: guru, fasilitas pendidikan, kurikulum, sampai pada prestasi siswa.
  Indonesia bisa dinilai sebagai Negara yang gagal, karena semakin tua usianya bukan semakin berprestasi, tapi sebaliknya. Di bidang pendidikan prestasi Indonesia semakin menurun. Penurunan peringkat Indonesia dalam indeks pembangunan pendidikan untuk semua (Education for All) tahun 2011, salah satunya disebabkan tingginya angka putus sekolah di jenjang sekolah dasar. Sebanyak 527.850 anak atau 1,7 persen dari 31,05 juta anak SD putus sekolah setiap tahunnya. Badan PBB, UNESCO merilis indeks pembangunan pendidikan (Education Development Index) dalam EFA Global Monitoring Report 2011. Peringkat Indonesia turun pada posisi ke-69 dari 127 negara. Tahun lalu posisi Indonesia ke-65. Dari empat indikator penilaian, penurunan drastis terjadi pada nilai angka bertahan siswa hingga kelas V SD. Pada laporan terbaru nilainya 0,862.
  Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga ditunjukkan data Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia berada pada level 0,617 pada tahun 2011 menduduki peringkat 124 dari 187 negara di dunia. IPM Indonesia hanya unggul jika dibandingkan Vietnam yang memiliki nilai IPM 0,593, atau Laos dengan nilai 0,524, Kamboja 0,523, dan Myanmar dengan nilai IPM 0,483.
  Kualitas guru yang menjadi ujung tombak pendidikan juga rendah. Masih banyak guru yang tidak layak, tidak disiplin, dan jarang mengajar. Pada pertengahan Oktober 2011, puluhan wali murid SD Negeri 1 Puulemo Kecamatan Baula, Kabupaten Kolaka, Sultra merasa kesal dengan kepala sekolah dan guru karena jarang masuk mengajar. Mereka menyegel kantor kepala sekolah dan ruangan guru di SD tersebut. 
  Rendahnya kualitas guru ini berbanding lurus dengan kesejahteraan guru yang belum merata. Sebagian ada yang sejahtera, sebagian masih mengenaskan. Contohnya seperti yang dialami guru SDN 023 di daerah masyarakat adat Talang Mamak, suku asli Provinsi Riau. Guru di Desa Talang Durian Cacar Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu, pada Januari silam belum menerima gaji selama tiga bulan. Mereka juga harus memikul beban kerja berlipat ganda, karena hanya ada tiga guru di sekolah itu yang mengajar siswa dari kelas satu hingga kelas lima.
  Semua fakta itu masih diperparah dengan sarana fisik yang belum memadai. Masih banyak gedung sekolah yang tidak layak digunakan untuk belajar. Data yang diterima Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, selama tahun 2011 terdapat sekitar 21 ribu sekolah rusak berat. Bahkan seperti yang dilaporkan Republika, gedung sekolah yang rusak berat itu ada yang sampai merengut nyawa siswa. Adalah Sukniah (10 tahun), siswa kelas 4 Madrasah Diniyah Al-Ikhlas, Kampung Tambleg, Desa Cidikit, Kecamatan Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, tewas tertimpa atap sekolahnya yang tiba-tiba ambruk. Sementara sepuluh siswa lainnya mengalami luka-luka di bagian punggung, kaki, pundak dan kepala.
  Lain halnya di Sampit, bukan masalah gedung sekolah yang rusak berat, tapi Sampit kekurangan gedung sekolah. Akibatnya ribuan siswa lulusan SMP di daerah tersebut terancam tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena tidak tertampung di Sekolah Menengah Umum dan sederajat. Dari 5.090 siswa SMP yang lulus diperkirakan hanya sekitar 3.000 lebih yang berhasil tertampung di bangku SMU, sedangkan 2.000 siswa diantaranya terancam akan putus sekolah.
EVEREDY LEMANS
13521083
B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar